WARNA-WARNI HALMAHERA DI MALUKU UTARA
Ketika menyusuri laut Maluku, lepas tanjung dapat tanjung, lepas pulau ketemu laut terus mengarungi dengan kapal layar tradiosinal "KLMT FENES" alias perahu phinisi.
Kabupaten Kepulauan Sula
SIBUK berbenah membangun pemerintahan yang baru, setidaknya dapat terlihat dari kegiatan pembangunan gedung perkantoran di sentra pemerintahan yang baru. Saat ini yang secara fisik sudah terlihat berdiri dan siap dipakai adalah gedung kantor bupati.
Sebelumnya Sula adalah bagian dari Kabupaten Maluku Utara, terpecah menjadi Kabupaten Halmahera Utara dan Halmahera Selatan. Sementara kabupaten induk berubah nama menjadi Kabupaten Halmahera Barat. Setelah setahun berdiri, wilayah yang terdiri atas enam kecamatan ini masih pada tahap pembenahan infrastruktur, khususnya di pemerintahan. Keterbatasan yang dimiliki kabupaten yang wilayahnya terdiri atas tiga pulau besar ditambah pulau-pulau kecil di sekelilingnya ini tak hanya seputar gedung pemerintahan atau telekomunikasi. Untuk masalah transportasi misalnya, meski tersedia pesawat jenis Cassa milik maskapai penerbangan Merpati yang lepas landas dari Ternate ke Bacan sebelum sampai di Bandara Sanana, jadwalnya dua - tiga kali seminggu. Dengan penumpang maksimal hanya 16 orang, tentu tidak banyak yang bisa menikmati angkutan cepat ini. Selain pesawat kecil, angkutan penumpang antarpulau juga dilayani dua kapal yang hanya singgah dua kali seminggu ke Sanana, ibu kota kabupaten. Kapal yang melayani rute Manado-Ternate-Sanana ini melayari wilayah Maluku dari posnya di Kota Manado setiap hari Selasa dan Jumat pulang pergi. Kapal lainnya yang singgah di Pelabuhan Sanana adalah kapal barang atau hasil bumi yang datangnya tidak tentu. eperti umumnya wilayah Kepulauan Maluku, Sula pun merupakan daerah agraris, khususnya perkebunan. Dari tanah Sula dihasilkan kelapa, cengkeh, pala, dan kakao selain produk tanaman pangan seperti padi ladang, ubi kayu, dan ubi jalar yang produksinya tergolong besar. Kecamatan Sanana dan Taliabu Timur adalah penghasil utama kelapa yang produk akhirnya berupa kopra, juga didistribusikan ke Ternate, Bitung hingga Pulau Jawa yakni Surabaya. Komoditas perkebunan lain seperti cengkeh, pala, dan kakao banyak ditanam di Kecamatan Sanana dan Taliabu Barat. elain hasil bumi dari daratan, Sula masih menyimpan potensi lain dari laut maupun yang masih terpendam di dalam Bumi. Seperti wilayah lain yang termasuk Kepulauan Maluku, Sula juga dicirikan dengan potensi hasil lautnya. ata pencarian penduduk yang utama selain berkebun adalah mencari ikan. Dengan luas lautan kurang lebih 14.500 kilometer persegi atau 60 persen dari total wilayah dan secara geografis mengelilingi wilayah- wilayah daratannya, bisa dikatakan menjadi nelayan di Kepulauan Sula adalah pilihan yang cukup mudah. Apalagi dengan teknologi sederhana yang masih mendominasi, yaitu penggunaan perahu tanpa motor. Jumlah pemakaian perahu jenis ini angkanya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pemanfaatan motor tempel ataupun kapal motor.
Keterbatasan, kesederhanaan, memang masih melingkupi Kabupaten Kepulauan Sula. Jika keterbatasan mungkin dapat segera diakhiri seiring dengan berjalannya pembangunan, maka kesederhanaan membutuhkan tak hanya waktu, tapi juga kemauan untuk maju. Salah satu aspek kesederhanaan yang dimaksud adalah teknologi.
Masih rendahnya tingkat teknologi yang digunakan di Sula seperti telah disebutkan adalah teknologi penangkapan ikan. Padahal potensi ini begitu menjanjikan. Kepulauan Maluku sejak dulu adalah surga bagi para pencari ikan. Lautnya yang masih asri dan kekayaan yang tersimpan di dalamnya masih melimpah
Kabupaten Halmahera Barat
PETA Indonesia barangkali merupakan peta yang selalu ketinggalan zaman. Selama lima tahun belakangan ini pemekaran demi pemekaran wilayah terus terjadi sedemikian pesatnya, mulai dari tingkat provinsi, kabupaten, hingga kecamatan.
MALUKU juga tidak terhindar dari pemekaran. Presiden BJ Habibie menandatangani Undang-Undang Nomor 46 Tahun 1999 yang memekarkan Provinsi Maluku menjadi Maluku dan Maluku Utara (Malut) yang membawahi Kabupaten Maluku Utara, Kabupaten Halmahera Tengah serta Kota Ternate.
Empat tahun kemudian, pada tanggal 25 Februari 2003, Presiden Megawati Soekarnoputri menandatangani Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2003 tentang terbentuknya Kabupaten Halmahera Utara, Kabupaten Halmahera Selatan, Kabupaten Kepulauan Sula, Kabupaten Halmahera Timur, dan Kota Tidore Kepulauan di Provinsi Malut.
Kabupaten Halmahera Utara, Kabupaten Halmahera Selatan, dan Kabupaten Kepulauan Sula merupakan pemekaran dari Kabupaten Maluku Utara. Luas wilayah Kabupaten Maluku Utara semula 22.584 kilometer persegi, kini tinggal 2.756 kilometer persegi. Perundangan menyebutkan pergantian nama Kabupaten Maluku Utara menjadi Kabupaten Halmahera Barat dengan ibu kota di Jailolo. Akibat pemekaran itu kecamatan yang menjadi wilayah Halmahera Barat tinggal Jailolo, Jailolo Selatan, Sahu, Ibu, dan Loloda.
Sebelum pemekaran, sektor pertanian menjadi tulang punggung utama perekonomian. Setelah kabupaten mengalami pemekaran muncul pertanyaan, masihkah pertanian dan industri pengolahan menjadi penunjang perekonomian, mengingat luas wilayah yang diwarisi Halmahera Barat hanya tinggal seperdelapan luas Kabupaten Maluku Utama yang lama?
Dari data Maluku Utara dalam Angka 2001 di lima kecamatan yang menjadi wilayah Halmahera Barat terdapat 202.000 hektar lahan sawah, lahan kering, lahan tidur serta lahan tadah hujan. Lahan irigasi yang ditanami seluas 90 hektar dan menghasilkan 1.112 ton. Adapun dari 160 hektar luas lahan padi gogo dipanen 332 ton. Sementara tanaman palawija, seperti jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, dan kedelai menyita 700 hektar lahan. Padi hasil panen wilayah ini tidak cukup bagi kebutuhan penduduk yang mayoritas mengonsumsi beras. Sebagian lagi 18.000 hektar wilayahnya merupakan perkebunan kelapa, cengkeh, kakao, pala, kapuk, dan kayu manis. Perkebunan kelapa merupakan yang terbesar, 69 persen dengan produksi 17.167 ton.
Hasil produksi perkebunan diperdagangkan ke Surabaya, Makassar, dan Manado. Harga kopra Rp 75.000 per 100 kilogram, sedangkan cengkeh, cokelat, dan pala per kilogramnya dihargai Rp 10.000, Rp 7.500, dan Rp 20.000. Harga tersebut bisa turun-naik dengan tajam. Cengkeh pernah mencapai Rp 75.000 per kilogram. Perkebunan yang menjadi tempat bergantung sekitar 23.000 petani akan tetap memainkan peran yang berarti bagi perekonomian Halmahera Barat.
Potensi perikanan laut sewaktu masih menjadi Kabupaten Maluku Utara ikut menyumbang devisa meskipun masih ditangani secara tradisional. Perikanan bisa menjadi tumpuan Halmahera Barat untuk andalan ekspor. Kecamatan Jailolo dan Loloda merupakan sentra perikanan Halmahera Barat.
Kecamatan Jailolo merupakan pusat industri pengolahan dengan andalan utama komoditas ekspor berbahan baku kayu. Di sini muncul kendala yang bisa mengancam kelancaran industri ini, yaitu semakin sulit mendatangkan bahan baku kayu dari Kalimantan dan Papua. Kayu bagi wilayah tersebut merupakan komoditas unggulan untuk memasukkan devisa. Tentunya prioritas utama mencukupi lebih dulu kebutuhan industri pengolahan di wilayahnya masing-masing.
Perut bumi Halmahera Barat juga menyimpan kekayaan bahan galian logam dan nonlogam. Menurut data Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Maluku Utara di Kecamatan Loloda terdapat kandungan emas, mangan, tembaga, pasir besi, batu bara, dan perlit. Belum ada data berapa besar kandungan kekayaan yang terdapat di kecamatan ini. Sedangkan di Kecamatan Jailolo terdapat andesit 17.306 juta meter kubik, kaolin 5 juta meter kubik, batu apung 20 juta meter kubik, gips 6 juta ton meter kubik, dan batu bara. Namun, kekayaan perut bumi ini belum ada yang menambangnya.
SEJARAH Tidore yang dahulu berbentuk kesultanan memang tak lepas dari letaknya di pesisir Laut Maluku dan kekayaan hasil bumi rempah-rempah. Posisi itu pernah menjadikannya salah satu sentra perdagangan di Indonesia Timur. Status sebagai kota bandar rempah-rempah dimiliki Tidore bersama dengan tiga kerajaan lain, yakni Ternate, Bacan, dan Jailolo. Keempat kerajaan yang dipimpin seorang sultan itu adalah daya tarik bagi datangnya pedagang rempah-rempah dunia dari Eropa, seperti Portugis, Spanyol, dan Inggris, maupun Arab serta wilayah Asia lainnya. Kejayaan keempat kesultanan itu sebagai kota bandar, sekaligus "negeri" bumbu masak, masih tetap dikenang sampai sekarang.
Kota Tidore Kepulauan adalah wilayah hasil pemekaran dari Kabupaten Halmahera Tengah sebagai kabupaten induk. Pesona Tidore sebagai produsen cengkeh dan pala masih menancap hingga kini meski tidak sekuat dahulu. Terutama cengkeh yang harganya di pasaran sangat fluktuatif. Walau tidak mengandalkan hasil bumi sebagai potensi yang menjanjikan, tetap menjadikannya produk unggulan. Cengkeh dan pala adalah unggulan di tiga kecamatan di Pulau Tidore, sedangkan dua kecamatan lain, yaitu Oba Utara dan Oba di Pulau Halmahera, menghasilkan kopra dan cokelat sebagai komoditas utama.
Jika dua pulau itu berbeda karakteristik dalam segi komoditas unggulan, demikian juga dengan mata pencaharian penduduk. Di Pulau Tidore, mayoritas penduduk mencari nafkah dari bertani, khususnya tanaman pangan, sementara di Pulau Halmahera berkebun. Keempat komoditas unggulan kedua daerah tersebut beserta hasil bumi lainnya dipasarkan keluar Tidore melalui pelabuhan di Kota Ternate, menuju daerah-daerah di Pulau Jawa dan sebagian ke Manado. Selama ini Tidore memang belum memiliki pelabuhan dengan dermaga yang mampu disinggahi kapal dagang besar atau kapal perintis.
Sebagai wilayah berstatus kota, kelengkapan infrastruktur menjadi salah satu yang dituju. Karena dengan itu akan mempengaruhi pengembangan sektor tersier, sesuai fungsi kota yang lebih banyak berbicara pada jasa dan pelayanan. Namun, saat ini Kota Tidore Kepulauan masih pada tahap awal sehingga keterbatasan di sana-sini adalah cirinya. Transportasi, misalnya, hanya mengandalkan angkutan dalam kota dengan kendaraan sejenis minibus. Untuk menuju ke kecamatan atau daerah lain di Pulau Halmahera, atau ke Pulau Ternate, penduduk menggunakan kapal motor cepat (speedboat) yang kapasitasnya sekitar 10 orang. Angkutan ini lebih disukai, selain karena faktor jadwal yang lebih banyak, juga kecepatan waktu dan biaya. Jika kapal feri berlayar dua kali sehari, speedboat lebih luwes, tergantung penumpang. Waktu yang ditempuh kapal cepat ini pun sekitar lima menit dari pelabuhan, dibandingkan dengan kapal feri yang makan waktu 25 menit. Dari segi biaya, ongkos yang harus dikeluarkan tidak jauh beda antara speedboat yang Rp 3.500 per orang dan kapal feri Rp 3.000 per orang. Alhasil, kapal feri hanya dimanfaatkan untuk angkutan barang atau kendaraan karena angkutan penumpang lebih memilih kapal cepat untuk bepergian.
Jika sektor transportasi belum begitu menjanjikan, demikian juga perdagangan. Untuk peluang yang satu ini Tidore kalah dari saudara dekatnya, Kota Ternate, yang menjadi otonom sejak tahun 1999. Untuk membeli kebutuhan pokok atau sekadar berwisata belanja, penduduk lebih suka menyeberang ke Ternate. Di kota tetangga itu memang dapat dijumpai banyak pertokoan besar dan modern, satu hal yang belum ditemukan di Tidore.
Di daerah bekas Kesultanan Tidore ini, perdagangan dilayani pasar-pasar tradisional dan pusat pertokoan sekelas rumah toko (ruko) dengan yang paling ramai di Pasar Inpres Sari Malaha di ibu kota Tidore. Karena Ternate berjarak cukup dekat dengan Tidore, dan lebih dahulu membangun wilayahnya, Tidore kurang punya nama sebagai pusat perdagangan di antara wilayah-wilayah lain di Maluku Utara.
Untuk menjadi daerah transit pun cukup sulit karena jalur yang harus ditempuh penduduk dari luar Kota Tidore ke Ternate tidak harus melalui Tidore karena tersedia kapal yang langsung ke ibu kota provinsi itu. Fasilitas dan sarana-prasarana yang lebih lengkap di Ternate menjadikan Tidore punya banyak pekerjaan rumah, antara lain membangun infrastruktur yang lebih banyak dan representatif, demi mengimbangi kota tetangganya yang sudah lebih maju.
Sadar akan posisi yang kurang menguntungkan, Pemerintah Kota Tidore Kepulauan memutuskan menjadikan wilayahnya sebagai daerah tujuan wisata di Maluku Utara. Selain memanfaatkan sisa kejayaan Kerajaan Tidore di masa lalu sebagai obyek wisata sejarah dan budaya yang tersimpan di Museum Sonyire Malige, akan difokuskan juga pembangunan tempat-tempat wisata yang selama ini masih berupa potensi.
Misalnya, wisata petualangan mendaki gunung berapi Kiematubo (1.730 meter). Gunung yang belum banyak dirambah orang ini menawarkan petualangan pendakian mengasyikkan bagi para avonturir. Ada juga Desa Gurubunga yang alamnya sangat indah, tenang, dan asri, serta Desa Topo untuk agrowisata. Saat ini obyek wisata terkenal di Tidore, selain sisa Kesultanan Tidore, adalah reruntuhan benteng Spanyol yang menyisakan jejak bangsa Spanyol masa lalu.
Kabupaten Halmahera Timur
TERSEBUTLAH sebuah nama di bagian utara kabupaten, Subaim. Nama tempat sekaligus ibu kota Kecamatan Wasile ini tergolong daerah istimewa di Halmahera Timur. Membawahi sedikitnya delapan satuan permukiman penduduk, daerah ini menjadi sentra beras di kabupaten, bahkan mencakup Halmahera Tengah, kabupaten induknya dahulu.
OLEH transmigran asal Pulau Jawa yang masing-masing 1.000-2.000 orang setiap satuan permukiman (SP), wilayah tersebut digarap hingga menghasilkan padi 20.665 ton tahun 2002. Jumlah tersebut merupakan hasil tuaian di atas lahan panen 6.885 hektar.
Meski demikian, malang bagi kabupaten muda ini. Hasil panen tersebut tidak beredar di daerah sendiri, tetapi justru lari ke Tobelo di Kabupaten Halmahera Utara, tetangganya. Buat para petani, menyeberangi Teluk Kau selama dua jam dengan long boat, angkutan air bagi masyarakat setempat, lebih menguntungkan ketimbang harus ke Maba, ibu kota kabupatennya sendiri.
Pasalnya, bukan perkara mudah untuk berjalan menuju Maba. Satu-satunya jalan yang tersedia ke sana, sejauh 41 kilometer, belum layak dilewati. Dari total jalan yang dibuka, sepanjang 247 kilometer, baru 17 persen beraspal. Rute Subaim-Maba tidak termasuk di dalamnya.
Kabupaten yang otonom sejak 31 Mei 2003 ini memang belum memiliki sarana infrastruktur yang memadai. Ibarat sebentuk bangunan, Halmahera Timur belum kelihatan wujudnya. Semuanya serba darurat, mulai dari kantor pemerintah kabupaten (pemkab) yang masih mengontrak di rumah penduduk hingga kantor DPRD yang akan didirikan.
Demikian pula dengan sarana wilayah lainnya. Meskipun Sungai Sangaji, atau lebih populer disebut Ake Sangaji, mampu mengalirkan 6.000-7.000 liter air per detik, hingga kini rumah penduduk belum terjamah air bersih.
Listrik tak kalah langka dibandingkan dengan air bersih. Hanya sebagian Kecamatan Maba dan Wasile yang bisa menikmati fasilitas ini. Itu pun 12 jam per hari mulai pukul enam sore hingga enam pagi.
Berkomunikasi jarak jauh dengan penduduk Kabupaten Halmahera Timur merupakan perjuangan tersendiri. Hubungan antara satu daerah dengan daerah lain hanya bisa menggunakan telepon satelit yang kualitasnya sangat ditentukan oleh cuaca. Sekarang telepon seluler sudah dapat dinikmati di Subaim dan Buli.
Sebagai daerah agraris yang meliputi 41 desa, pertanian menjadi mata pencaharian sebagian besar penduduknya. Mereka yang menggantungkan hidup dari hasil bercocok tanam jumlahnya 86 persen. Selain tanaman pangan, seperti padi, jagung, ubi kayu, kacang tanah, dan kacang kedelai, penduduk menanam pula sayur-sayuran, seperti cabe, terong, kacang panjang, dan bayam. Pisang, jeruk, pepaya, mangga, nangka, dan jambu adalah jenis buah-buahan yang mereka budidayakan, tetapi hasilnya masih terbatas.
Terhadap kegiatan ekonomi Halmahera Timur, lahan perkebunan yang digarap belum kelihatan perannya. Kecuali kelapa, beberapa komoditas lain yang dikembangkan, yakni jambu mete, cengkeh, pala, coklat, dan kopi, produksinya belum memuaskan.
Deretan nyiur yang memagari pesisir pantai Halmahera Timur sebagian besar bukan jenis hibrida, melainkan kelapa dalam. Meski banyak yang bisa dimanfaatkan dari tanaman kelapa, oleh masyarakat setempat hasilnya hanya dijual dalam bentuk kopra. Biasanya Tobelo dan Ternate menjadi tempat persinggahan sementara sebelum kopra dibawa ke Surabaya.
Tumbuhnya perekonomian kabupaten baru ini pun belum bisa berharap banyak dari hasil perikanan. Meski empat kecamatan berhadapan langsung dengan teluk dan lautan lepas dengan kelompok desa nelayan seperti Mabapura, Bicoli, Wayamli, Soakimalaha, Jarajara, Lolobata, dan Fayaul, produksi perairan belum mampu menggerakkan roda perekonomian rakyat. Padahal, Halmahera Timur terletak di Maluku Utara yang berpotensi besar menghasilkan berbagai jenis ikan pelagis atau ikan permukaan berukuran besar maupun kecil.Dari seluruh kecamatan, hanya 5 persen penduduk yang berminat menggeluti lapangan usaha ini. Mereka melaut dengan peralatan yang sederhana, seperti pukat pantai, jaring insang, bagang perahu, pancing tonda, rawai, dan bubu. Perahu yang digunakan pun sebagian besar atau 80 persen dari 1.772 adalah perahu tanpa motor. Tuna dan teri adalah jenis ikan yang paling banyak diburu nelayan.
Di usia yang sangat muda, Halmahera Timur belum lengkap dengan berbagai sarana. Khususnya sektor perikanan, jangankan pabrik pengolahan lengkap dengan cold storage, tempat pelelangan ikan tak satu pun ditemui di sana. Semuanya masih dalam taraf persiapan. Bagaimanapun, sektor pertanian-termasuk di dalamnya perkebunan, peternakan, kehutanan, dan perikanan-akan terus dikembangkan karena sifatnya yang langsung menyentuh kehidupan masyarakat.
Sebaliknya dalam waktu dekat Halmahera Timur masih harus menggali kekayaan tambang. Tanpa melalui proses pengolahan lebih lanjut, galian tambang yang masih mentah langsung dikirim ke luar daerah. Oleh PT Aneka Tambang (Antam), dua kali seminggu, setidaknya 70.000-80.000 ton nikel diangkut ke Pomala di Sulawesi Tenggara, Jepang, Korea, dan Australia. Dari timbunan nikel itulah roda ekonomi daerah digerakkan. Ada tiga sumber tambang nikel Halmahera Timur. Dua di antaranya di Mabapura dan Buli sudah beroperasi. Sementara Pulau Pakal masih dalam rencana.
Meski cukup berarti terhadap produk domestik regional bruto, dunia pertambangan Halmahera Timur belum banyak mengikutsertakan penduduk setempat. Diperkirakan dari 6.400 tenaga kerja yang terlibat dalam usaha penambangan, 30 persen merupakan putra daerah. Masih sedikitnya lapangan usaha dalam menyerap tenaga kerja lokal diakibatkan oleh masalah pendidikan. (Sumber: Kompas)
Kabupaten Halmahera Tengah
SEJARAH kembalinya Irian Barat yang kini dikenal dengan Papua ke pangkuan Ibu Pertiwi menorehkan nama Halmahera Tengah di dalamnya. Tahun 1956 wilayah ini termasuk bagian Provinsi Irian Barat. Tak hanya itu, daerah yang baru saja mengalami pengurangan wilayah di awal tahun 2003 ini adalah basis perjuangan merebut Irian Barat.
HAMPIR setengah abad lalu peristiwa itu terjadi. Meski demikian, hal bersejarah ini tak pernah lekang dimakan waktu. Ini tercermin dari arti gelombang laut, sudut Salawaku, dan gugusan pulau/gunung pada lambang Kabupaten Halmahera Tengah.
Tidak tanggung-tanggung, wilayah Kabupaten Halmahera Tengah berkurang hampir 80 persen. Kecamatan Tidore dan Oba menjadi bagian Kota Tidore Kepulauan, sementara Kecamatan Maba dan Wasile masuk dalam naungan Kabupaten Halmahera Timur. Ini berarti mengurangi potensi sumber daya alam, dengan menyisakan Kecamatan Weda dan Kecamatan Patani Gebe yang kemudian dipisahkan menjadi Kecamatan Patani dan Kecamatan Pulau Gebe. Mau tidak mau, potensi alam lainnya harus digali untuk menggerakkan perekonomian yang mengandalkan perkebunan sebagai ujung tombak pertanian.
Pada tahun 2001, sumbangan perkebunan mencapai 19,25 persen dari total kegiatan ekonomi dengan kelapa sebagai komoditas utama. Produksinya sebanyak 39.023 ton di tahun yang sama digeluti oleh lebih 26.000 petani kelapa. Jika dikurangi dengan empat wilayah yang telah menjadi kota dan kabupaten lain, maka hanya 23 persen dari total produksi dengan 9.203 petani kelapa saja yang dimiliki kabupaten ini. Produksi kelapa yang berlimpah diolah lebih lanjut menjadi minyak kelapa rakyat. Batok kelapa juga termasuk komponen kelapa yang dapat dimanfaatkan.
Hasil perikanan laut memang cukup menjanjikan. Ikan cakalang merupakan ikan yang paling banyak tersedia. Geografis Halmahera Tengah yang berbatasan dengan Teluk Buli dan Teluk Weda menjadikan hasil perikanan sebagai kandungan alam potensial dan layak menjadi andalan.
Kontributor terbesar ada di pertambangan nonmigas. Sejauh ini, pertambangan yang dieksploitasi adalah nikel. Pertambangan nikel yang berada di Pulau Gebe dikelola PT Aneka Tambang (Antam). Di tahun 2001, nilai produksi pertambangan mengalami kenaikan menjadi 29 juta dollar AS.
Aktivitas penambangan telah dimulai sekitar tahun 1978. Diperkirakan, kontrak eksploitasi berakhir terhitung empat tahun kemudian dari sekarang. Berakhirnya kegiatan penambangan di Pulau Gebe menjadi persoalan, mengingat sumbangannya yang besar mencapai 19,6 persen terhadap keseluruhan nilai perekonomian.
Saat ini di wilayah Kecamatan Weda, sebuah perusahaan asing yakni PT Weda Bay Nickel yang merupakan group perusahaan dari Perancis Eramet, sedang menyelesaikan proses akhir eksplorasi tambang nikel dan cobalt. Dengan nilai investasi sekitar Rp 2,34 triliyun. Diperkirakan sekitar 3 - 4 tahun kedepan proses tambang dan produksi akan beroperasi.
Akses ke Pulau Gebe dapat dicapai dengan kapal dalam setengah hari perjalanan. Bisa juga dengan pesawat carter. Selain pelabuhan di Pulau Gebe, Halmahera Tengah juga memiliki sebuah dermaga kecil di Kecamatan Weda yang merupakan pelabuhan perintis.
Di pelabuhan-pelabuhan kecil ini, kapal-kapal besar yang berasal dari Pelabuhan Ternate tidak dapat merapat. Karenanya barang-barang yang dibawa diangkut ke daratan dengan jenis kapal kecil. Barang-barang yang didatangkan dari luar pulau, seperti beras dan pakaian, dipasok dari Surabaya serta sayur-sayuran berasal dari Manado. Barang-barang ini dibongkar di pelabuhan besar Ternate untuk kemudian diangkut kembali dengan kapal ke Halmahera Tengah.
Pengangkutan melalui jalur laut menjadi pilihan karena kurang baiknya infrastruktur jalan. Ini menunjukkan bahwa sebagian besar permukaan jalan berkerikil dengan kondisi rusak.
KABUPATEN HALMAHERA UTARA
USIA boleh muda, tetapi peran dalam sejarah dunia perlu diperhitungkan. Sebagian wilayah kabupaten yang baru mekar tanggal 23 Februari 2003 berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 2003 ini pernah ikut andil dalam sejarah Perang Dunia II. Salah satu wilayahnya, Pulau Morotai, menjadi saksi bisu dalam pertempuran antara tentara Jepang dan sekutu yang dikomandani Amerika Serikat. Pada zaman Perang Dunia II, pulau ini menjadi pangkalan militer pasukan Amerika Serikat.
SISA-sisa peninggalan perang, seperti meriam, benteng, dan senapan, masih dapat dijumpai di pulau ini. Namun, sayang, sisa-sisa peninggalan itu sudah jarang ditemui karena oleh masyarakat setempat barang tersebut dimanfaatkan menjadi kerajinan tangan. Rongsokan senjata dilebur menjadi kerajinan besi putih yang dihiasi mutiara.
Lokasi peninggalan Perang Dunia (PD) II ini berpotensi menjadi tempat pariwisata unggulan. Sampai sekarang, ada beberapa mantan tentara PD II yang bernostalgia mengenang keterlibatan mereka di Halmahera. Peninggalan PD II di antaranya Pulau Sum-Sum tempat persembunyian Jenderal Douglas MacArthur, panglima perang tentara sekutu, dan Pulau Bobale di Kecamatan Kao.
Sebagai daerah kepulauan, Kabupaten Halmahera Utara memiliki potensi pariwisata bahari. Gugusan Pulau Dodola, Kokoya, Ngele-Ngele di Kecamatan Morotai memiliki pantai pasir putih, ikan hias, dan terumbu karang. Wisata pantai terdapat di Pantai Kupa-Kupa di Kecamatan Tobelo Selatan, Pantai Luari di Kecamatan Tobelo. Telaga Duma dan Telaga Makete di Kecamatan Galela, Telaga Lina di Kecamatan Kao, dan Telaga Paca di Kecamatan Tobelo. Bagi penggemar olahraga selam, Pulau Morotai memiliki taman laut yang indah untuk dinikmati. Namun, sampai saat ini potensi pariwisata bahari di Halmahera Utara belum dikelola dengan baik. otensi utama Kabupaten Halmahera Utara diperoleh dari perkebunan dan jasa. Penduduk Halmahera Utara bergantung pada pertanian, terutama perkebunan kelapa dan cengkeh. Luas areal perkebunan kelapa tahun 2002 sebesar 47.900 hektar dengan produksi 68.500 ton. Kecamatan Tobelo, Tobelo Selatan, dan Galela paling banyak menghasilkan komoditas kelapa.
Pengolahan kelapa selama ini terbatas pada produk kopra. Produk dalam bentuk kopra dibawa ke Surabaya melalui Pelabuhan Tobelo. Di sana komoditas ini diolah lebih lanjut menjadi minyak kelapa.
Rempah-rempah seperti cengkeh juga menjadi andalan kabupaten. Sepertiga luas areal dan produksi cengkeh di Kabupaten Maluku Utara disumbang oleh Kabupaten Halmahera Utara. Kecamatan Morotai Selatan, Malifut, dan Kao merupakan produsen terbesar di Halmahera Utara. Pada tahun 2002 areal tanaman cengkeh 2.667 hektar dengan produksi 494 ton.
Sebanyak 78 persen wilayah Halmahera Utara terdiri atas perairan. Oleh karena itu, potensi perikanan wilayah ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Lokasi strategis penangkapan ikan berada di perairan Tobelo, Tobelo Selatan, Morotai, Teluk Kao, dan Laut Maluku. Jenis ikan yang terdapat di perairan Halmahera Utara di antaranya pelagis besar seperti cakalang (Katsuwonus pelamis), tuna (Thunus spp), layaran (Isthiophorus spp), dan lemadang (Coryphaena spp). Jenis pelagis kecil juga banyak dijumpai, seperti ikan layang, kembung, teri, selar, dan julung-julung. Jenis ikan demersal seperti kakap merah, pisang-pisang, baronang, dan jenis ikan ekonomis tinggi seperti kerapu sunu dan kerapu bebek juga banyak dijumpai dari hasil tangkapan nelayan Halmahera Utara.
Komoditas perikanan lain seperti kepiting kenari, cumi-cumi, mutiara, dan ubur-ubur atau lebih dikenal dengan nama jelly fish banyak dijumpai di perairan Teluk Kao. Di perairan Morotai, nelayan banyak mendapatkan lobster bambu, batik, dan mutiara. Rumput laut, teripang pasir, teripang lotong, dan teripang hitam juga sering dijumpai.
Produksi perikanan Kabupaten Halmahera Utara tahun 2002 sekitar 16.700 ton. Kecamatan Tobelo dan Tobelo Selatan paling besar menyumbang produksi perikanan ini. Produk perikanan digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi lokal maupun bahan baku industri caning di beberapa daerah di luar Kabupaten Halmahera Utara, seperti Manado dan Jakarta. Pengapalannya dilakukan di Pelabuhan Tobelo untuk didistribusikan lebih lanjut ke daerah lain. Ada pula yang sampai dikapalkan ke Jepang.
Kabupaten Halmahera Utara juga memiliki potensi pertambangan. Nusa Halmahera Mineral (NHM), sebuah perusahaan pertambangan emas, sudah sejak tahun 1990-an melakukan eksploitasi emas di daerah Kao dan Malifut. Di kecamatan Loloda Utara, tepatnya di Pulau Doi, juga terdapat eksploitasi mangan.
http://WARNA-WARNI HALMAHERA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar