Peristiwa Maluku Utara Berdarah (22 Oktober-99 s/d 4 januari 2000)
Dalam puisi Taufiq Ismail berjudul Kura-kura mengenai konflik di Maluku bahwa konspiratornya orang luar sedang operatonya orang lokal. Siapa dia?. Mari kita simak dengan akal sehat dan memakai nurani yang dalam. Telah puluhan bahkan ratusan tahun rakyat maluku utara hidup dengan damai. Baik antar etnis maupun antar agama. Sebagai contoh, ketika pada tahun 1975 orang Makian dipaksa pindah dari kampung halamannya, oleh Pemda setempat, ke daratan Halmahera dengan alasan Gunung Api Kie Besi akan meletus. Akhirnya mereka memulai hidup baru di daerah yang tandus, yaitu daerah Malifut yang berdampingan dengan daerah Kao. Di daerah yang baru ini, orang-orang Makian (mayoritas Muslim) diterima baik oleh tetangganya, penduduk Kao (mayoritas kristen) yaitu desa Wangeotak, Sosol, Tomabaru, Gayop dan Tobobo. Mereka hidup rukun sehingga mereka berpadu untuk bersama-sama membangun daerah Halmahera Utara. Bahkan ada cerita, ketika anjing piaraan orang Kao memasuki daerah Malifut, maka orang Kao sendirilah yang menghalau anjing tersebut. Karena mereka tahu bahwa orang makian malifut yang mayoritas islam mengharamkan anjing. Rukunlah kedua tetangga tersebut dalam mengatur kehidupan wilayahnnya. 24 Tahun mereka, orang Makian yang dikenal pekerja keras, berhasil merubah keadaan kehidupan dan wilayah mereka. Yang tadinya gersang, sekarang dengan perkebunan dan peternakannya yang berhasil banyak dari kalangan mereka naik haji (sebagai bukti kesuksesan mereka). Bahkan ada KUD di Malifut yang sangat berhasil dan membuat salut banyak orang, bahkan dari pihak luar negeri sekalipun, karena tanpa subsidi dari pemerintah mereka berhasil memakmurkan KUD-nya. Kemudian tersiar kabar dibalik tanah malifut terdapat bongkahan emas. Mulailah para investor berebut masuk kesana untuk dapat menguasai. Akhirnya perusahaan penambangan besar internasioanl, Newcrest (Australia) berhasil mengeruk emas yang ada dengan bendera PT. Nusa Halmahera Minerals yang join dengan BUMN PT. Aneka Tambang. NHM mulai melakukan survey tahun 1998 dan melakukan eksplorasi tahun 1999. Dengan adanya perusahaan besar inilah mulai membuat mata manusia perlahan-lahan buta terhadap kebenaran. Dimulai dengan konflik kecil-kecilan yakni rekrutmen tenaga kerja NHM yang tidak adil (terlalu banyak menerima pekerja asal Makian Malifut dibanding Kao), sampai dengan antar jemput antar karyawan warga Kao dan Malifut. Yang kesemuanya menjadikan bentrok antara karyawan (Kao dan Malifut) yang membuahkan dendam. Setelah 24 tahun warga Makian Malifut membangun wilayahnya, maka sangat patut ketika reformasi bergulir mereka meminta status daerah mereka ditingkatkan menjadi Kecamatan. Akhirnya keluarlah PP No. 42/1999 yang menetapkan Wilayah Malifut menjadi daerah Kecamatan dengan lima desa yaitu desa Wangeotak, Sosol, Tomabaru, Gayop dan Tobobo dimasukkan dalam kecamatan Malifut. Dari keadaan inilah mulai timbul gejolak. Oknum warga Kao dan aktor lokal daerah Kao menuntut agar ke lima desa tersebut jangan bergabung dengan kecamatan Malifut. Penolakan PP No. 42/99 dibungkus adat setempat yaitu, ketakrelaan warga Sosol, Wangeotak, Tomabaru, Gayop dan Tobobo yang tak menerima penggabungan desa mereka ke kecamatan Malifut. Alasan yang diutarakan, mereka takut kena katula (jadi kodok dan monyet?) dari sumpah adat Sultan Baabullah yang melarang empat Sangaji: Pagu, Boenge, Modole, dan Kao, untuk saling berpisah. Sumpah yang mestinya dimaknai sebagai upaya hidup berdampingan secara damai, kini malah menumpahkan darah anak negeri yang bermukim di bumi Malifut. Karena Peraturan Pemerintah nomor 42 tahun 1999 yang jadi kontroversi itu. Bagi masyarakat Kao, PP itu hanya buatan tangan manusia yang bisa dirobah. Apalagi Mudafar Syah ketika mengunjungi Kao, juga memperkuat argumen bahwa PP itu hanya buatan manusia dan pihaknya akan memperjuangkan hingga presiden. Sementara Malifut berpendapat, PP itu adalah amanat konstitusi yang harus diamankan. Karena itulah, bentrokan berdarah yang menghancurkan bumi Malifut itu terjadi. Padahal kalau dilihat lebih jeli, konflik ini karena disebabkan perebutan rezeki tambang emas NHM di Malifut. Diduga Camat Kao, Mochtar Sangaji beserta oknum tertentu (HR dan WS) kerap meminta upeti ke perusahaan NHM. Nah dengan adanya kecamatan Malifut, otomatis rezeki mereka hilang karena bisa jatuh ke kecamatan Malifut. Oleh karenanya, ketika isu-isu untuk menaikan status wilayah Malifut menjadi kecamatan, mereka seperti kebakaran jenggot.
Menurut Samad Simin, mantan Camat Kao, sebagaimana dikutip Ternate Pos, dua nama yang mesti diperiksa aparat kepolisian adalah HR dan WS. Karena kedua orang ini yang sering memimpin demo menentang kehadiran suku Makian, sebelum PP 42 turun. Termasuk ketika memaksa PT.Nusa Halmahera Minerals menyerahkan sumbangan kepada mereka, ketika dirinya masih jadi camat di Kao. . "Semasa saya masih jadi Camat Kao, mereka memaksa NHM menyerahkan upeti Rp. 100 juta. Mereka berdua juga pernah melakukan demo anti orang Makian di Kantor Camat Kao", katanya. Menurut Samad Simin lagi, tidak semua warga Kao terlibat dalam tawuran berdarah itu. Warga Kusu II dan Pidiwang, misalnya, tidak mau ikut campur dalam tragedi itu. Sebab, sebagian warga telah mengetahui persis penolakan lima desa Kao untuk masuk wilayah Malifut, menurutnya, hanya mempertahankan rezeki Gosowong. Mereka terus berusaha memprovokasi warga Kao untuk membenci warga Malifut. Puncaknya pada malam tanggal 19 Agustus pemuda desa Sosol (Kao) dalam keadaan mabuk cap tikus, menyerang desa Tahane (Malifut) dengan menghina Nabi Muhammad. Hal ini tidak bisa diterima warga Makian Malifut (fanatik Islam) akhirnya melakukan serangan balasan esok pagi tanggal 20 21 Agustus yang meluluhlantakan desa Sosol dan Wangeotak. Keesokannya, Muspida Kabupaten Maluku Utara bersama Sultan Ternate Mudaffar Sjah, berkunjung ke tempat kerusuhan. Namun kedatangan Mudaffar Sjah ke sana bukannya menyelesaikan masalah malah membuat masalah baru. Mudaffar malah berjanji kepada warga Nasrani Kao, bahwa ia akan memperjuangkan aspirasi mereka hingga ke Presiden Habibie, karena warga Kao adalah pengikutnya yang dijulukinya Kaso Mahena (anjing buduk sultan). Karena dalam pandangannya dan kemudian ini digunakan sebagai alasan oleh warga Kao Kristenbumi Malifut bukan milik warga etnik Muslim Makian.
Tanggal 22 Agustus-23 Oktober 1999, Pejabat dan aktor lokal Kao setempat bebas dan makin menjadi-jadi membuat orasi yang isinya tak jauh dari makar yakni pembungihangusan Malifut. Hal ini dibiarkan oleh aparat. Kemudian, Pulau Bobale di depan kecamatan Kao dijadikan pangkalan pembuatan bom. Herannya, semua itu dilakukan di depan hidung aparat TNI dan Polri, tapi tak dihalangi sama sekali. Dan tak ada upaya penegakkan hukum oleh aparat kepolisian. Kenapa? Cobalah Anda berpikir dengan hati nurani. Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih, hari Minggu tanggal 24 Oktober 1999 terjadi awal peristiwa yang mengenaskan. Serangan besar-besaran warga Kao ke Malifut.
Berikut kronologisnya. Berceritalah Abas Rajeb (47), Guru SD Malifut, kronologi "pertempuran" babak dua itu.
Pagi itu, sekitar pukul 08.00 WIT, puluhan warga Desa Peleri Kecamatan Malifut, Kabupaten Maluku Utara, Provinsi Maluku Utara, berangkat ke kebun. Mereka berjalan secara "bergerombol". Maklum, situasi belum membaik diakibatkan 2 minggu yang lalu mereka habis bentrok dengan tetangganya. Malam sebelum peristiwa itu, mereka sudah melapor pada pihak keamanan: bahwa Ahad pagi itu mereka ingin ke kebun untuk memanjat kelapa. Pihak keamanan meminta mereka membantalkan niat itu karena keamanan mereka tidak bisa dijamin. "Tapi, karena kebutuhan keluarga harus segera terpenuhi, kelompok itu tetap berkeras pergi", katanya. Seperti biasa, lanjut Abas, untuk menyelesaikan pekerjaan, mereka selalu mengerjakan secara bergotong royong. Seperti pagi itu, mereka bergerombol berangkat ke kebun, di Bobotoka, sekitar 4 Km dari Desa Peleri, untuk memanjat kelapa beberapa warga yang tiba saatnya di panen. Tapi di sana, mereka kemudian dihadang warga Kao dalam jumlah besar. Meski hanya sekitar empat puluhan, mereka sempat bertarung menahan gerak maju orang-orang Kao. Pada kejadian itu, empat orang: Kubais (38), satu orang dari Mailowa dan satu dari Malapa dan seorang anak sekitar 15 tahun tewas di tempat. "Kubais mati di cincang. Dan anak itu kena panah", katanya sedih.
Saling baku serang itu sempat berhenti sehingga orang-orang Peleri sempat mengevakuasi mayat empat orang itu. Tapi, ketika prosesi penguburan berjalan, orang Kao lagi-lagi datang menyerang. Saat itu hari menjelang sore. Karena serangan itu, pelaksanaan penguburan korban hanya dilakukan oleh imam dan aparatnya. "Yang lain kembali berperang mempertahankan kampung". Untung tak dapat di raih. Sial pun tak terhindarkan. Serangan orang Kao sekitar 15 ribu orang itu, yang dilengkapi senjata api rakitan dan bom-bom molotov, tak dapat ditahan. Mereka meringsek masuk kampung. Hingga sore hari, rumah 16 desa di Malifut, mereka bakar habis. "Kami tidak sempat menyelamatkan barang-barang. Yang kami bawa hanya yang bisa kami bawa: seperti ijazah dan SK bagi pegawai negeri", kisahnya dengan suara serak menahan tangis. Yang parahnya lagi, bangunan pemerintahpun habis mereka ratakan, seakan-akan mereka tidak ingin lagi melihat Malifut berdiri kembali.
Dengan jumlah massa yang cukup besar dan bersenjata lengkap itu, jelas tak bisa dilawan warga Malifut yang hanya sekitar 2 ribu orang itu. Diperoleh informasi, warga Kao, dibantu beberapa desa di Tobelo. Bahkan mengaku kapita (pimpinan perang) Wayaua, Bacan serta dari Kecamatan Oba, Kabupaten Halmahera Tengah. Mereka terpaksa mundur dan mengungsi. Sebagian besar, mengamankan diri dan berlindung di Kantor Koramil Malifut. Tapi tidak sedikit yang berjalan kaki menuju Sidangoli, meninggalkan Malifut yang sudah 24 tahun mereka tinggali. Lalu dimanakah aparat? Mereka malah seakan-akan mempercepat penarikan pengungsi warga Malifut ke Ternate dibanding memberi peringatan keras kepihak penyerang (seperti tembakan peringatan). "Orang halmahera itu, sudah diketahui sejak dulu takut sekali sama yang namanya Abri (militer).
Asal dengar tembakkan saja mereka langsung kocar kacir. Lho kok ini mereka (aparat) tidak bertindak apa-apa ketika warga Kao menyerang Malifut dengan peralatan perang yang canggih." Ujar Abdurrahman, warga Ternate, menyikapi masalah aparat. Bahkan menurut fakta dilapangan, aparat malah mengarahkan senjata ke pihak pengungsi, seakan-akan mereka ingin berteriak,"Kaburlah kau ke Ternate, jangan kembali ke sini lagi."
Tanggal 25 Oktober 1999, seorang pengungsi ditembak aparat dengan peluru karet, hingga luka parah dikarenakan pengungsi tersebut membawa barang yang dikira senjata untuk bertempur di Malifut. Aneh! Sementara di Ternate, jumlah pengungsi dari kecamatan Malifut yang perkampungannya telah rata dengan tanah itu, diperkirakan berjumlah sekitar 10.000 orang. Dan inilah bom waktu yang siap meledak! Akhirnya Ternate dijadikan tempat kumpulnya akumulasi emosional para warganya yang terdiri dari pengungsi Ambon, pengungsi Makian Malifut (suku Makian berjumlah 65% dari Maluku Utara).
30 Oktober 1999 Beredarlah Sebuah selebaran di Ternate. Isinya, skenario gereja menguasai Halmahera dengan jalan kekerasan dan ethnic cleansing terhadap warga Muslim. Warga Muslim mulai terprovokasi dengan dokumen yang menyebutkan pembalasan Sosol berdarah itu. Dijelaskan, bagaimana upaya gereja untuk menguasai kesultanan Ternate agar warga Muslim Ternate tak sadar kalau mereka sedang dijebak untuk saling bunuhan antar mereka. Utamanya pembasmian terhadap Muslim Makian dan Tidore yang dikenal cukup militan.
2 Nopember 1999, Warga muslim Ternate dan Tidore mulai gerah dan emosi ketika membaca selebaran tersebut. Dari pihak Gereja, mereka mencoba mengklarifikasikan fitnah tersebut. Di Tidore, Pdt.Tuankotta meminta kesempatan untuk menjelaskan duduk masalah soal selebaran yang meresahkan masyarakat, dan mencatut nama ketua Sinode Gereja Protestan Maluku (GPM), Pdt.Sammy Titaley. Namun belum tiba pada bantahan Titaley, tiba-tiba massa menjadi beringas sehingga menyebabkan kematiannya dan berbuntut 3 rumah ibadah (Gereja) dirusak massa, dan puluhan rumah penduduk ludes terpanggang api. Korban jiwa, menurut data dari posko kerusuhan yang bermarkas di Kantor Bupati Halteng, 8 orang meninggal. Sedangkan pemantauan lapangan menunjukkan bahwa diperkirakan telah 10 korban yang tewas secara mengenaskan. Ada pertanyaan menggelitik lagi, dimanakah aparat? Wakapolres Halmahera Tengah, Mayor Polisi Ricky Pais, belum bersedia menjelaskan, kenapa aparatnya tak mampu mengendus secara dini dan mengusahakan penangkalan terhadap kemungkinan konflik itu. Akhirnya di pulau Tidore didatangkan 1 SSK Brimob Kepolisian dari Polda Sulawesi Utara. Pasukan yang berjumlah 64 orang itu adalah bantuan langsung dari Mabes Polri dan langsung diterjunkan ke lokasi rusuh.
6-10 Nopember 1999, peristiwa yang sering dibayangkan warga Ternate akhirnya terbukti,.Ternate Rusuh!. Tanpa diketahui awal penyebab dari mana, kerusuhan yang terjadi di Kota Ternate sejak 6 Nopember sampai 10 Nopember 1999 dari Posko Kotamadya Ternate melaporkan korban jiwa yang meninggal dunia sebanyak 31 orang, luka berat 3 orang dan 1 orang luka ringan. Pengusiran warga Kristen Ternate oleh kaum muslim dikarenakan beredar isu-isu bahwa pihak kristen akan mengadakan penyerangan besar-besaran seperti yang pada awalnya terjadi di Ambon. Hal ini diperkuat dengan bukti-bukti yang nyata mengenai banyaknya bom-bom rakitan, sejata rakitan, pedang dan parang yang disembunyikan di rumah kristen serta gereja mereka. Namun pengusiran ini dilakukan dengan "sopan" dibanding para kristen Tobelo yang mengusir dan membantai umat Islam Tobelo. Contohnya ketika mereka (kristen) keluar dari rumah, mereka masih membawa harta serta surat-surat berharga. Dan ketika mereka berada di dalam kompi militer, mereka aman. Bahkan ada beberapa pihak umat Islam yang datang ke kompi guna memberikan bantuan makanan ke pengungsi Kristen di Kompi. Adapun 31 orang yang tewas adalah terdiri dari laki-laki dewasa (tidak ada ibu-ibu dan anak-anak). mereka tewas dikarenakan melakukan perlawanan. Bandingkan dengan Tobelo, para perempuan muslimah diperkosa lalu dibunuh, anak-anak tak luput dari cincangan. Memang mereka kristen sadis! Adapun tempat ibadah sebanyak 5 buah mengalami rusak berat, kendaraan roda empat sebanyak 5 buah, roda dua 9 buah. 72 Rumah rusak total, sedangkan rusak berat 541 dan 63 rusak ringan, 3 buah kios serta 1 buah sekolah rusak berat. Sedangkan kerugian material yang ditafsir sesuai laporan Posko Kotamadya Ternate tercatat rumah rusak total/rusak berat Rp. 35.554 juta, Rusak ringan Rp. 1.827 juta, tempat ibadah rusak total/rusak berat Rp. 232 juta, rusak ringan Rp. 29 juta, kios/toko Rp.93 juta, sekolah rusak total Rp. 58 juta, kendaraan roda empat 500 juta sedangkan kendaraan roda dua 80 juta sehingga total kerugian material mencapai Rp. 73.104.660 juta. Jumlah pengungsi yang ditampung pada kamp-kamp pengungsian sebanyak 5.645 orang, jumlah ini yang tercatat pada posko kotamadya Ternate. Adapun yang mengungsi ke luar Ternate diperkirakan 17.000 orang. (Bitung Manado) Baru Ternate lepas dari kerusuhan, timbul lagi ketegangan antar warga karena ulah pasukan adat kesultanan Ternate. Entah karena ingin menebus dosa masa lalu, yaitu saat reformasi terjadi pengrusakkan kantor bupati serta sarananya, Sultan Ternate mencoba bangkit sebagai pahlawan dalam hal menjaga keamanan kota Ternate. Setelah diberi angin oleh pihak aparat setempat, Mereka, pasukan dewan adat berseragam kuning, biru merah, mulai berjaga-jaga di pos Residen, Kantor Barito, kantor Golkar untuk memeriksa setiap orang yang lewat jalur disitu. Apakah mereka membawa senjata tajam, kalau ya sita!
Tentu dengan cara kerja yang kasar dan menakut-nakuti warga. Hal ini dikarenakan pasukan adat yang diterjunkan kelapangan mempunyai latarbelakang pendidikan yang rendah, otomatis etika pergaulannya pun minus sehingga lebih terkesan over acting dan memancing emosi masyarakat dalam melakukan pengamanan kota dibanding hansip sekalipun! Akhirnya tindakan mereka menjadikan rasa benci masyarakat lebih membara Dilain pihak terlihat aparat hanya duduk-duduk sambil melihat para pasukan kuning yang over acting melucuti senjata pedang masyarakat. Disinilah mulai timbul 2 kubu, yaitu kubu kuning (dewan adat) dan kubu putih (masyarakat setempat, khususnya masyarakat Ternate Selatan).
Sekitar tanggal 9 November 1999, jam 15.00 WIT terjadi penembakan ke warga sipil di pelabuhan oleh aparat KODAM. Korban bernama Rais tewas ditempat dengan peluru mengenai jidatnya mengakibatkan mata kanannya keluar. Penembakan dilakukan karena pada saat itu, dipelabuhan sedang terjadi evakuasi orang kristen ke Bitung. Adapun korban warga Dakomip (belakang pelabuhan) waktu itu hanya sekedar ingin melihat suasa pengungsi, namun nasib berkata lain. Akhirnya warga Dakomip, Kadaton Tidore dan Falajawa membawa jenazah ke markas Kodam untuk meminta pertanggungjawaban. Ketika massa sampai di depan markas kodam, tiba-tiba datang truk dari arah Pasar Gamalama membawa pasukan adat lengkap dengan senjata perang (pedang panjang). Akhirnya pasukan dewan adat langsung bercakalele mengejar kumpulan massa yang sedang membawa mayat. Aparat membiarkan kuning mengacau yang menyebabkan massa lari kocar kacir menyelamatkan diri. Disinilah massa tambah sakit hati terhadap kuning. Adapun aparat hanya menyaksikan hanya mengatakan bahwa kedua pihak hanya salah paham. Cuma begitu saja?. Malam harinya jam 20.00 WIT, terjadi bentrokkan di muka jalan Falajawa dengan masalah yang sama yaitu membawa mayat korban untuk dimakamkan. Dan hal ini lebih menambahkan rasa benci warga putih terhadap kuning. Belum puas dengan melakukan sweaping (razia) terhadap warga Ternate, dewan adat mencoba unjuk kekuatan kembali yaitu menculik orang-orang yang diduga provokator kerusuhan Ternate (tentunya versi Mudaffar Sjah, yaitu aktivis Makian dan Tidore). Adapun militer hanya membantu dalam hal menyiksa dan memenjarakan. Akhirnya Ternate dicekam rasa ketakutan akan culik menculik yang dilakukan dewan adat. Korban pun mulai berjatuhan, salah satunya Imran.
Kala itu, Imran bermaksud mengantar anak dan istrinya ke Jakarta. "Saya mau mengantar anak-anak saya ke Jakarta. Keamanan di Ternate sudah tidak menjamin sekolah mereka", kata kepada Ternate Pos, saat di rawat di Rumah Sakit Umum Ternate. Tapi sial, Imran ditangkap pasukan dewan adat lengkap dengan senjata. Setelah disiksa pasukan dewan adat, Imran mengaku di bawah ke Markas Batalyon 732 Banau Ternate. Di markas tentara ini, Imran bukan mendapat pertolongan. Ia, sebagaimana diakuinya kepada Ternate Pos, malah dianiaya oleh oknum anggota tentara beragama kristen. Selain bogem mentah, oknum anggota tentara juga memukulnya dengan popor senjata dan potongan balok. Akibatnya, sekujur tubuh Imran babak belur. Untunglah waktu tengah malam terjadi applaus (pergantian jam jaga) dan yang menggantikan adalah tentara muslim. Akhirnya Ia sempat dirawat di rumah sakit umum selama dua hari. Setelah itu, demi keamanan dirinya dan pengobatan alternatif, Imran di bawa ke Tidore. Hingga sekarang, Imran tetap ngumpet di satu tempat yang tak mudah diketahui orang. Begitu juga dengan korban-korban lainnya. Akhirnya banyak aktivis orang Makian yang mengungsi ke Tidore untuk keamanan. Puncak akumulasi emosi pihak putih dan pihak kuning akhirnya terjadi. Berikut kronologis pertempuran kuning dan putih dari tanggal 27 sampai dengan 29 Desember 1999.
Senin, 27 Desember 1999 Pukul 20.00 WIT, saat itu umat Islam Ternate sedang menunaikan ibadah shalat tarawih, terdengar bunyi dentuman keras di kawasan kelurahan Stadion. Tak lama kemudian, api mulai berkobar di sekolah SMA RK Bintang Laut. Hal ini membuat warga Stadion dan Kampung Pisang yang dekat dengan Tempat Kejadian Peristiwa (TKP) mendatangi lokasi, dengan maksud mencari tahu. Namun dihadang sekitar 30 orang dewan adat yang bermarkas di kantor Golkar ( 500 meter dari lokasi kejadian). Sehingga bentrokan pun terjadi pada malam itu. Bunyi ketukan tiang listrik saling bersahutan untuk meminta bantuan sehingga membuat warga sekitarnya menjadi cemas. Korban dari pihak putih berjatuhan akibat lemparan dari pihak dewan adat. Kejadian ini diantisipasi oleh aparat keamanan dengan mendatangkan tiga kesatuan yang terdiri dari kesatuan Brimob, Polisi dan TNI ke lokasi kejadian.
Selasa, 28 Desember 1999 Pukul 01.00 WIT. Setelah diadakan upaya perundingan oleh aparat antara pihak putih dan kuning tidak berhasil, akhirnya pertempuran dua kubu tak terelakan lagi. Pasukan dewan adat (pihak kuning) mulai menyerang dengan beringas ke warga setempat dan dibalas dengan aksi pelemparan batu oleh pihak putih (warga masyarakat). Aparat keamanan yang berada ditengah massa yang bertikai mencoba melarai. Pukul 01.30 WIT. Ratusan massa mulai bertambah. Dari kelompok putih bantuan datang dari kelurahan sekitarnya seperti Kampung Pisang, Tanah Tinggi, Toboko dan Mangga Dua. Adapun dari pihak kuning, ada penambahan pasukan dengan didrop tiga truk. Aksi saling lempar melempar dan mengejek dilakukan kedua belah pihak. aparat keamanan mulai melepas tembakan peringatan untuk membubarkan kumpulan massa. Pukul 02.00 WIT. Masih dari kawasan Kampung Pisang, keadaan suasana tambah mencekam ketika beberapa korban dari kedua belah pihak mulai berjatuhan. Pasukan dewan adat mulai bercakalele (menunjukkan keahlian perang) dengan perlengkapan perang seperti parang, pedang dan mulai mencoba bergerak maju untuk menghalau dan menghantam massa putih. Adapun dari kelompok putih tetap bertahan dengan batu, parang dan senjata rakitan dan terus mengetuk tiang listrik untuk minta bantuan. Pukul 02.30 WIT. Korban kembali jatuh dan salah satunya dari pihak aparat yakni komandan Brimob, Lettu. Paulus, tersungkur akibat kaki kiri terkena peluru dari senjata rakitan (basoka). Adapun dari pihak kelompok putih yaitu Haris, warga Tanah Tinggi, tewas diterjang timah panas mengenai punggung. Keadaan makin memanas dan mencekam. Sedang dari kelompok dewan adat yaitu Yopi yang memimpin pasukan adat terkena basoka di dada dan panah di punggung. Beruntung Yopi sempat diselamatkan oleh rekan-rekannya dan sampai berita ini diturunkan belum diketahui nasib dan tempat persembunyiannya. Pukul 03.00 WIT. Tanpa bisa dikendalikan oleh aparat kemananan, kedua kubu (kuning dan putih) semakin beringas dengan saling berjibaku. Sejumlah warga Falajawa 2 dan Kalumata didrop ke "medan pertempuran" untuk membantu kelompok putih. Akhirnya kelompok kuning terdesak mundur, sehingga gedung Golkar yang merupakan basis kelompok kuning dibakar.
Pukul 04.00 WIT. Saat sebagian warga Kampung Pisang sedang sahur, kelompok kuning mulai menambah kekuatan dan berhasil memukul mundur pasukan putih dari Kampung Pisang sampai di daerah Tanah Tinggi. Mereka, kelompok kuning, mulai membakar rumah penduduk dikawasan Kampung Pisang, sebagian Maliaro dan Tanah Tinggi. Ratusan rumah terbakar dan ditambah penyerangan membabi buta dari dewan adat menyebabkan warga disekitarnya melarikan diri dan mengungsi ke Mapolres tanpa bisa menyelamatkan harta benda. Seorang ayah dan anak perempuan warga Tanah Tinggi tewas dibacok pasukan dewan adat. Korban Harta belum dapat ditaksir sampai berita ini diturunkan. Adapun korban jiwa yang meninggal karena terbakar adalah Ny. Rambega, 58 th, warga Maliaro. Tidak sempat menyelamatkan diri. Ia terbakar bersama rumahnya. Pukul 07.30 WIT. Pasukan Dewan adat tambah beringas dengan tetap melakukan aksi pembakaran tak terkecuali bangunan milik pemerintah tak luput dari aksi pembakaran seperti perumahan Bea Cukai. Seorang warga Falajawa 2, Abu, purnawirawan polisi tewas ditempat dan terputus kakinya akibat dicincang pasukan dewan adat di gedung kantor PDAM lama. Pasukan Putih tetap berusaha menghalau dengan senjata rakitan, pedang dan lemparan batu, meskipun terhalau mundur sampai ke jalan Toboko jembatan nomor satu. Korban jiwa bertambah lagi baik dari pihak dewan adat maupun kelompok putih.
Pukul 08.30 WIT. Pasukan kuning akhirnya terpukul mundur dari wilayah Toboko setelah kelompok putih menambahkan kekuatan dari warga Ternate Selatan melakukan penyerangan dengan pelemparan batu kearah dewan adat. Dikarenakan situasi yang makin tidak menentu maka terjadi pengungsian yang dilakukan oleh warga Ternate Selatan (umumnya anak-anak dan kaum wanita) ke Tidore.
Pukul 12.30 WIT. Sekitar 500 Pasukan Jihad Tidore datang ke Ternate lewat Toboko Pantai untuk bergabung dengan kelompok putih Ternate. Pukul 13.00 WIT. Pasukan putih bersama pasukan jihad Tidore berhasil menghalau Pasukan Kuning dari kawasan Jalan Mononutu depan kantor Barito sampai di kelurahan Soa. Pukul 15.15 WIT. Konsentrasi Pasukan Adat yang berjumlah sekitar 200 orang dan Putih (500 orang) sudah saling berhadapan di depan Kantor Kodim. Bentrokan masih bisa dihindarkan karena aparat dengan siaga mencoba mengatasi keadaan tersebut. Jembatan Residen yang merupakan posko pertahanan kuning di kawasan Falajawa mulai dibakar massa putih. Pukul 16.00 WIT. Sehabis shalat Ashar di Masjid Muhajirin Falajawa, secara tiba-tiba pasukan putih serentak menyerbu pasukan kuning, sehingga pasukan kuning terpukul mundur dan lari menyelamatkan diri ke arah Terminal. Aparat tidak bisa berbuat apa-apa dikarenakan kurangnya personil. Saat pasukan dewan adat lari mundur menuju terminal, mereka sempat melempari dengan batu kearah Masjid Agung Muttaqien yang mengakibatkan kaca-kaca Masjid Hancur dan seorang jamaah terkena lemparan di mata ketika para jamaah sedang menunaikan shalat Ashar. Hal ini menyebabkan warga muslim sekitarnya yang semula netral (tidak memihak kubu putih dan kuning) menjadi marah dan mulai bergabung dengan kelompok putih. Korban jiwa kembali berjatuhan. Tak jauh dari Masjid Muttaqien, Seorang warga Falajawa (pihak putih), Abdurrahman Hadi Assagaf, tewas mengenaskan dengan tubuh tercincang. Adapun dari Pihak kuning, seorang tewas dengan batang leher terbelah di depan Toko Utama jalan Nukila.
Jatuhnya korban dari kedua belah pihak membakar emosi massa kuning dan putih sehingga menyebabkan situasi semakin tak terkendali lagi, dan menewaskan 6 korban meninggal dari pihak putih di kawasan Kampung Makassar Barat. Posisi terakhir sampai hari Senin 27 Desember, massa kuning berkumpul di Bambu Kuring, masjid Arqam kawasan kampung Makassar, adapun massa putih berkumpul di Soa Sio.
Rabu, 29 Desember 1999 Pukul 10.00 WIT. Diadakan upaya perdamaian dari semua pihak yang dihadiri oleh Gubernur, Surasmin SH, Dandim, Kapolres dan dari kelompok kuning hanya diwakili oleh Zulkarnain Soleman, Sekretaris Pribadi Sultan Mudaffar Sjah. Hal ini menyebabkan ratusan massa depan kantor Gubernur kecewa, karena Mudaffar Sjah selaku Sultan Ternate Tidak hadir. Tanpa diketahui siapa yang mengomando, ratusan massa putih bergerak menuju Kedaton Ternate.
Pukul 11.00 WIT. Di kawasan Santiong, Pasukan kuning mulai membakar dua buah mobil milik warga setempat. Mobil tersebut diparkir di jalan Beranjangan. Aparat mencoba memblokade namun tidak berhasil. Pukul 12.00 WIT. Bantuan pasukan putih ke Ternate terus berdatangan diantaranya dari Moti, Kayoa, Tidore, Makian, Bacan dan Sanana. Kelompok putih pada saat itu berjumlah sekitar lima belas ribu tertahan di depan gedung RRI. Dari kawasan Dufa-Dufa sekitar 3 KM sebelah utara Kedaton Ternate, warga setempat mulai mengungsi ke pangkalan angkatan laut. Pukul 12.30 WIT. Bentrokkan tak dapat dihindarkan. Massa kelompok putih dan kuning yang berada di depan RRI terus melakukan penyerangan dengan melakukan pelemparan batu disertai bom rakitan dari kedua belah pihak. Aparat tak tinggal diam dengan mencoba menghalau kedua belah pihak. Puluhan korban berjatuhan akibat terjangan peluru aparat dan peluru senjata rakitan.
Pada saat yang sama, massa putih di kawasan jalan tengah Kampung Makassar mencoba membakar rumah keluarga Mudaffar Sjah. Hal ini mengakibatkan kelompok kuning yang berada tidak jauh dari lokasi tersebut tetap memberikan perlawanan. Pukul 16.00 WIT. Gedung KNPI "Ngaralamo" yang berada sekitar 100 meter dari kedaton dan merupakan basis dewan adat dan sekretariat Gemusba (Generasi Muda Sultan Babullah) dibakar oleh massa putih. Dengan berjumlah sekitar 15.000 orang, kelompok putih mulai mengepung kedaton Ternate. Adapun massa kuning, masuk kedalam kedaton dan akhirnya dari dalam kedaton Kesultanan Ternate dinaikkan bendera putih tanda menyerah. Pasukan dewan adat serta merta melepaskan atribut pakaian mereka dan membakar serta mematahkan pedang-pedang mereka.
Pada saat yang sama, Sultan Tidore, H Djafar Dano Yunus Sjah didampingi Gubernur Maluku Utara memasuki kedaton Ternate dan terlihat Mudaffar Sjah langsung berpelukan dengan sultan Tidore dan mengakui kesalahan dan bersedia bertanggung jawab atas kejadian tersebut. Pukul 17.00 WIT. Ratusan ribu warga putih turun kejalan dan meneriakkan Takbir tanda kemenangan atas kezaliman. Pada saat yang sama Sultan Tidore dan gubernur Surasmin, di arak ribuan warga putih mengelilingi kota Ternate dan melihat aksi pembakaran yang dilakukan oleh pihak dewan adat (kuning) terhadap warga Kampung Pisang, Maliaro dan Tanah Tinggi. Dari preseden yang buruk inilah secara serentak Maluku Utara membara di bulan Ramadhan. Daerah Halmahera Utara (minoritas muslim) seperti Tobelo, Galela, Ibu, Jailolo, Sidangoli dan yang terbaru Morotai Selatan terjadi pembantaian kaum muslimin. Oh ya bagaimana dengan Tobelo dan Galela, yang katanya telah terjadi pembantaian kaum muslimin hampir 3500 Jiwa!!
Mari Ikuti kronologis kerusuhan Tobelo bersumber dari data dari Posko Peduli Umat.
Jumat, 24 Desember 1999 Pukul 20.10 wbti . Menyongsong Natal 1999 di Tobelo, telah didatangkan pasukan pengamanan gereja dari Desa Leleoto, Desa Paca dan Desa Tobe, arah Selatan Kecamatan Tobelo. Kedatangan pasukan pengamanan gereja dari ketiga desa yang didominasi warga Nasrani itu datang dengan perlengkapan senjata (seperti mau melakukan perang) dan ikat kepala merah yang diangkut dengan truk milik keluarga Jansen Pangkey. Kondisi ini tentunya mendatangkan kemarahan warga muslim di Dufa-Dufa Tobelo, menurut warga muslim, mengapa pengamanan di gereja di malam natal itu, harus dengan perlengkapan senjata? Pada saat yang sama, di Desa Gorua (yang didominasi warga muslim) arah Utara Kecamatan Tobelo, melalui Pdt. Yan Rubawange dengan alasan kebersamaan, memintakan masyarakat Islam Gorua menjaga gereja di desa tersebut. Warga muslim Gorua yang dengan keikhlasan mengabulkan permintaan itu. Malam itu gereja di Gorua dijaga oleh warga muslim Gorua hingga pagi hari. Padahal semua ini hanya sebuah siasat kelompok merah (Nasrani).
Sabtu,25 Desember 1999 Pukul 20.45 btwi. Terjadi pelemparan pada rumah milik seorang warga beragama Muslim, pelemparan tak diketahui. Tak beberapa lama terjadi lemparan balasan yang menurut informasi mengenai rumah milik Chris Maitimu (Purn) Polisi di Gosoma Barat. Suasana ini dapat diatasi. Lalu ada warga yang melihat purnawirawan Maitimu ini berjalan menuju ke arah Gosoma (yang dominan ditempati warga Kristen). Selanjutnya,dalam waktu yang tidak terlalu lama, terlihat 5 orang pemuda dari Gosoma mabuk dan berteriak sambil berjalan ke arah tempat pasar kaget (berhadapan dengan Toko Cenral Asia). Padahal saat itu ummat Islam masih melaksanakan Shalat Tarawih. Kelakuan 5 orang pemuda ini membuat masyarakat yang ada di lokasi tersebut kaget dan melarikan diri. Disaat itulah, kelima pemuda yang mabuk itu menuju jalan berputar depan gereja Pantekosta,dari sanalah tiang listrik dibunyikan. Suasana malam itu mulai tegang. Masyarakat di Jalan Baru (Islam) dengan masyarakat Gosoma (Kristen) mulai saling mengkonsentrasikan massa.
Minggu-Senin, 26-27 Desember 1999 Pukul 21.05 btwi. Amuk rusuh itu mulai pecah. Tiang listrik ,takbir di masjid-masjid serta lonceng gereja mulai berbunyi dalam Kota Tobelo. Pertikaian berdarah terjadi di mana-mana dan tak dapat dicegah. Ummat Islam Tobelo yang selama ini tidak mengetahui rencana jahat dari kelompok merah (Nasrani) berhadapan dengan perlengkapan senjata seadanya. Sebaliknya masyarakat Nasrani Tobelo memiliki perlengkapan yang luar biasa. Menurut saksi, bahan peledak (bom rakitan), bom ukuran standar,sangat banyak sampai sampai diangkut dengan gerobak dan tiap warga merah (Nasrani) membawanya (serta amunisi lainnya) dengan memakai peti. Selain bom rakitan, warga merah (Nasrani) juga memiliki senjata otomatis type "MM" dan ranjau darat (informasi yang berkembang perlengkapan canggih untuk memusnahkan ini dikirim dari Phillipina dan Australia melalui Sangir-Talaud). Ledakan bom terjadi di mana-mana. Warga muslim Tobelo banyak yang mengungsi di Masjid ,terutama kaum ibu dan anak-anak. Banyak bangunan yang hancur termasuk Masjid-Masjid yang ada di Tobelo, serta fasilitas pendidikan Islam. Juga penjarahan oleh warga Nasrani terhadap barang-barang milik warga muslim, terutama yang punya toko.
Kekuatan massa warga Nasrani justeru lebih besar daripada warga Muslim (sekitar 23.000 orang Nasrani berbanding 7000 orang Muslim). Kekuatan warga Nasrani yang besar itu ternyata sebagian besar para pengungsi (dari Payahe, Oba dan Gane mayoritas Kristen) yang ada di Tobelo. Dengan kekuatan yang tidak seimbang itu, ummat Islam dibuat bulan-bulanan. Bahkan daging dan darah babi itu mereka tebarkan di jalan-jalan. Ada informasi hingga kedalam Masjid.
Pada hari Senin,27 Desember 1999 di Desa Dokulamo Kecamatan Galela, warga Nasrani melakukan pembunuhan dan pembantaian terhadap Imam Masjid Nurul Huda Desa Dokulamo, bernama Hi. Jailan Tobuku. Setelah warga muslim menguburkan jenazah Imam tersebut, warga Nasrani membongkar kembali kuburan tersebut, dan jenazah Imam lalu disalib dan dimasukkan daging babi kemulut mayat Imam tersebut oleh warga Nasrani. Tanggal yang sama (27 Desember 1999) juga terjadi pembantaian terhadap warga muslim yang berlindung di Koramil Tobelo. Pembantaian terjadi di dalam kantor Koramil dan beberapa warga Muslim dicincang dihadapan aparat dan juga dihadapan Danramil Tobelo. Pihak Koramil tak mampu berbuat apa-apa (atau sengaja membiarkan ?).
Selasa,28 Desember 1999 Posisi warga Muslim Tobelo terdesak oleh pasukan merah (Nasrani). Akhirnya seluruh warga Muslim Tobelo digiring hingga ke Masjid Raya Al-Amin Tobelo. Disinilah warga Muslim terkepung dari semua jurusan . Untunglah ada bantuan dari aparat keamanan dan menghalau pasukan merah. Terjadi evakuasi warga Muslim ke Kompi C Yonif 732. Keadaan Kota Tobelo pada hari itu lumpuh total, tak ada lagi perlawanan warga Muslim terhadap pasukan merah. Dan hari itu juga, rumah-rumah milik warga muslim di Tobelo dibumi-hanguskan oleh pasukan merah. Di Gamhoku (arah Selatan Tobelo), warga muslim diajak oleh warga Nasrani Gamhoku, melalui Pdt. Gultom (orang Batak Pimpinan Jemaat Gamhoku) untuk menghadiri Peringatan Natal Bersama yang dilaksanakan di Gereja Gamhoku. Di dalam gereja itulah, warga Nasrani mengatur rencana untuk menghabiskan warga muslim dan juga memaksa warga muslim makan babi. Ada jatuh korban dari warga muslim dalam gereja. Dan juga di dahi mereka terdapat tanda salib.
Rabu,29 Desember 1999 Di Desa Togoliua, arah Selatan Tobelo yang penduduknya beragama Islam, dibantai oleh aparat dan warga merah (Nasrani) dalam Masjid Al-Ikhlas Togoliua. Korban terdiri dari anak-anak, ibu-ibu dan laki-laki tua yang tak mampu. Jumlah korban sekitar 400 orang dan tanggal 2 Januari 2000 kemarin mereka dikebumikan secara massal menggunakan eksavator oleh aparat, berita ini langsung disampaikan oleh saksi yang mengungsi ke Ternate. Juga di daerah Trans Suka Maju Togoliua (yang kebanyakan dari Jawa, beragama Islam) habis dibantai seluruhnya. Dan tak ada satu yang tersisa. Para wanita diperkosa.
Jumat, 31 Desember 1999 Pasukan merah (Nasrani) yang dipimpin oleh Pdt. Soselissa dan J. Huwae (Mantan Camat Tobelo) bergerak ke Gorua disertai grup drum band. Dengan pengeras suara (Megaphone) Pdt. Soselissa (Asuhan RMS ?) mengucapkan kata-kata sebagai berikut: " Orang Islam Indonesia harus dihabiskan karena bikin kotor. Jangan takut, maju terus karena ada bantuan dari Belanda, Inggris dan Australia. Jadikan Tobelo sebagai ISRAEL KEDUA. Tokoh-tokoh Islam di Gorua harus ditangkap hidup-hidup seperti Hi. Abd. Rahim Hi. Ahmad (Imam Masjid Al-Muttaqin Desa Gorua) dan Hi Husri Hakim) ..." (Ucapan ini sempat didengar oleh beberapa warga muslim Gorua yang disampaikan kepada POSKO PEDULI UMMAT). Di Desa Gorua Kecamatan Tobelo itulah,merupakan pertahanan terakhir ummat Islam di Tobelo dan puluhan warga muslim yang mengamankan diri dalam masjid Al-Muttaqin Gorua, dibom dan dicincang mayatnya oleh warga Nasrani (korban yang terbantai kurang lebih 30 orang). Pertahanan di Desa yang mayoritas Islam ini bobol, dan warga Nasrani Tobelo dengan leluasa melanjutkan ke Desa Popilo arah Utara Kecamatan Tobelo yang juga penduduknya mayoritas Islam, dibantai oleh warga Nasrani. Pembantaian dilakukan di dalam Masjid Muhajirin Desa Popilo, sekitar jam 10.00 btwi dan korban terbantai sebanyak (kurang lebih) 30 orang.
Catatan Tambahan Kerusuhan Tobelo:
1). Tragedi Ramadhan berdarah di Tobelo, Galela serta Halmahera Utara ini merupakan tragedi kemanusiaan terbesar dalam sejarah kerusuhan di Indonesia. Karena pembantaian yang dilakukan warga Nasrani terhadap warga muslim berlangsung dalam masjid. Bahkan satu desa yang berpenduduk Islam dihabiskan dalam masjid. Juga para wanitanya diperkosa, setelah itu dihabisi dan dibantai. Tak ada lagi peri-kemanusiaan.
2). Tragedi dan kerusuhan yang dimulai oleh warga Nasrani ini mempunyai cara kerja yang sangat rapi dan sistematis. Diduga keras memiliki jaringan konspirasi dengan tragedi Ambon yang dilancarkan oleh RMS (Repulik Maluku Sarani = Selatan). Karena tokoh-tokoh kunci dalam tragedi Tobelo, Galela dan Halmahera Utara di motori oleh orang-orang Ambon (RMS ?). Seperti; Pdt. Soselissa (Pimpinan Jemaat Kupa-Kupa Tobelo Selatan), J. Huwae (Mantan Camat Tobelo), Ny. May Luhulima (Anggota DPRD Tk.II Maluku Utara-Fraksi PDIP,juga seorang provokator utama) serta Marthen Lokollo (Pegawai Pengadilan Negeri Tobelo) juga S. Sakalessy (Kepala Sekolah SMTP Negeri II Tobelo). Serta ditambah tokoh-tokoh Kristen yang berpengaruh di Tobelo, yakni; Ir. Hendrik (Hein) Namotemo,MSP (Kepala Bidang Perekonomian BAPPEDA Tk.II Maluku Utara - Juga Wakil Ketua MPS GMIH), Drs. Djidon Hangewa, MS (Kepala Dinas LLAJ Maluku Utara, & Wakil Ketua MPS GMIH), Zadrak Tongo-Tongo (Ketua Pemangku Dewan Adat Hibualamo Tobelo, Pegawai Statistik Kecamatan Tobelo), Ir. Frans Manery (Mantan Anggota DPRD Tk. II Maluku Utara, juga Pengurus MPS GMIH), Suami Istri Pieter Matahelamoal, SH (Pengurus Gereja Katolik Ternate) & Dra, Joice Mahura (Pegawai Dinas Pariwisata Kantor Bupati Maluku Utara), Hanoch Tonoro (Pegawai Kakancam P&K Tobelo), Pdt. Gultom (dari Batak Yang menjadi pimpinan Jemaat Gamhoku), Serta Ketua Sekolah Tinggi Teologia (STT) GMIH Tobelo (Pdt. Aest, M.Th) & Civitas Academica-nya. (Di STT-GMIH inilah tempat bagi warga Nasrani menyusun Strategi & Pelatihan Penyerangan serta Pengendalian Alat Tempur/senjata dilakukan dengan bimbingan tenaga Resimen Mahasiswa STT-GMIH dan tentunya tenaga ahli dari luar lingkungan STT).
3). Sedangkan finansial dan perlengkapan lain saat ini terjadi penyerangan didukung oleh beberapa Pengusaha Warga Keturunan (Cina), seperti: - Haenart Kusuma (Pemilik KM Garuda I) yang menyangkut bahan amunisi dari pulau Bobale, Hate Tabako (Wasile), Pulau Kumo, Daru dan Doro menuju Tobelo -Hae "Seke" (Pemilik Golden Karaoke & Night Club di Wosia) yang menyumbang bahan bakar. Suami-Istri Jansen Pangkey & Lenny Carla Karyose (Pemilik Favourite Photo) penyandang dana dan fasilitas dan sebagai spionase (mata-mata). Yak Sang (Warga Keturunan) yang suka menyogok pejabat dan aparat di Tobelo Suami istri Edy Tobin (Pemilik Toko Sinar Mas) penyandang dana. Juga PT. Nusa Halmahera Mineral (NHM) yang mengangkut amunisi dengan helikopter milik perusahaan asing tersebut.
Kerusuhan di Sidangoli, Jailolo 29 Desember 1999. Desa Sidangoli kecamatan Jailolo, diserang warga Kristen secara mendadak. Pada saat yang sama, lokasi Transmigrasi Goal yang umumnya transmigran muslim asal pulau Jawa, diserang. Ribuan warganya dibantai. Sementara wanita mudanya dijadikan pemuas nafsu birahi dan juru masak untuk melayani lasykar Kristen yang sedang bertempur. Di desa Soakonora Jalan baru, kecamatan Jailolo, warga muslim diserang. Sedang beberapa desa di jailolo, seperti Tuada dan desa lainnya, warga muslimnya dibantai secara biadab, sementara pemukiman mereka diratakan dengan tanah. Warga Muslim luar Jailolo yang membantu penyelamatan warga Muslim Jailolo, ditembaki aparat. Kurang lebih 10 orang telah tewas di ujung peluru oknum TNI dan Polri.
Kronologis Kerusuhan di Ibu Kecamatan Sahu,
2 Januari 2000 . Penduduk kecamatan Sahu diserang serentak dari segala arah. Sandi yang digunakan, Nuri jepit Kakatua putih. Puluhan warga dibantai. Pertahanan warga muslim dibobol dengan tembakan sporadis oleh oknum-oknum TNI dan Polri yang beragama Kristen, dan lemparan bom rakitan dari massa Kristen. Pengakuan seorang warga muslim membenarkan hal itu. Ia mengaku, saat itu ditembak dada kanannya oleh orang berpakaian loreng. Sementara dari atas pohon, sniper beraksi menghajar pengungsi muslim yang bergerak meninggalkan desa mereka. Desa Tacim, Ropu, Sangaji, dan Jarakore, dihajar hingga warganya menceburkan diri ke laut.
2 Januari 2000 Desa Gam Ici dan Gam Lamo, Tongute Ternate, serta desa Tahafo, kecamatan Ibu, diserang oleh gabungan 21 desa Kristen. Dalam waktu 3 jam, warga muslim dipukul mundur. Warga yang sudah tak berdaya dibantai, dan mayat mereka dibakar bersama rumah mereka. Terhitung 30 orang yang dibantai tanpa senjata.
3 Januari 2000 Desa Gamsungi Kecamatan Ibu yang berpenduduk hanya 635 orang, diserang oleh warga Kristen gabungan 9 desa besar. Satu orang muslim Gamsungi, Ma-bud Hasan, meninggal dunia akibat tembakan oknum aparat kepolisian, Serda Pol. Colombus, dari satuan Polantas, Polres Maluku Utara.
4 Januari 2000 Warga desa Talaga kecamatan Ibu yang sudah meletakkan senjata, diserang hingga banyak yang terpaksa lari ke laut. 2 warga meninggal dunia di sini. Secara umum warga muslim diserang dengan bom-bom rakitan, serta senjata standar milik TNI dan Polri. Diduga ada keterlibatan oknum TNI dalam ethnic cleansing di Halmahera Utara dan Barat. Karena sat natal, mereka minta cuti sambil membawa persenjataan dengan peluru dalam jumlah lumayan.Juga peran PT.Nusa Halmahera Minerals (NHM), perusahaan tambang emas dari Australia, turut berperan dalam serangan warga Kristen terhadap pemukiman muslim. Penggunaan dinamit dalam operasi penyerangan warga Kristen, diduga kuat berasal dari pasokan gudang dinamit NHM di Gosowong, Kao. Semua serangan ke kantong-kantong muslim, bagai mengikuti skenario dokumen "Sosol Berdarah" yang dibantah kebenarannya oleh pendeta S.Titaley, ketua sinode Gereja Protestan Maluku. Secara keseluruhan, kurang lebih 3500 warga muslim telah tewas dalam ethnic cleansing di Halmahera Utara. Kini, di Tobelo tak ada lagi gema Allahu Akbar dan kumandang ayat-ayat Suci al-Quran. Semuanya sudah digantikan dengan teriakan kesetanan ummat Kristiani dan lonceng-lonceng gereja. Ini adalah tujuan mereka yang sudah direncanakan. Bahkan ada kalimat-kalimat yang ditulis di dinding-dinding dan diteriakkan yang mendiskreditkan Islam. Seperti; "Orang Islam Indonesia bikin kotor... Jadikan Tobelo sebagai ISRAEL KEDUA..." dan sebagainya. Bahkan bendera merah (simbol Kristen, yang diikatkan di kepala saat berhadapan dengan ummat Islam Tobelo) telah dikibarkan di atas kubah-kubah masjid yang ada di Tobelo (terutama di masjid raya al-Amin), juga daging babi mereka naikkan ke masjid. Begitu juga saat terjadi penjarahan di Toko
Buku Sukainah milik ummat Islam, pasukan merah Nasrani menghambur-hamburkan isi toko, dan ketika mereka temukan Al-Qura-nul Karim, lalu disobek-sobek dan lembaran Al-Qura-nul Karim itu ditempelkan ke babi, mereka juga mengencingi Al-Qura-nul Karim itu. Naudzubillahi mindzalik...!
Melalui Majelis Pekerja Sinode (MPS) Gereja Masehi Injil Halmahera (GMIH) mereka telah mengatur strategi dengan lapisan-lapisan tertentu. Lapisan Pertama adalah orang-orang pengatur strategi (seperti Ir. Hein Namotemo, MSP; Drs. Djidon Hangewa, MS; J. Huwae, Pendeta Aest, M.Th [Ketua STT-GMIH] dan petinggi-petinggi MPS GMIH). Lapisan Kedua diisi oleh para provokator (seperti, Ny. May Luhulima, Dra. Joice Mahura dan suaminya [Pieter Matahelamual, SH]; Pendeta Soselissa, S. Sakalessy, Zadrak Tongo-Tongo, Hanoch Tonoro, Ir. Frans Manery, Herry Hiorumu, SH, MS. Nuku Romony, dan sebagainya), Dan Lapisan Ketiga adalah lapisan penyerang/pemukul yang terdiri dari pemuda-pemuda Kristen pemabuk dan masyarakat Kristen yang radikal dan otak udang. Dengan demikian, MPS GMIH telah membuat konspirasi yang begitu rapi dan sistematis serta memiliki modus operandi yang mirip dengan gerakan-gerakan separatis seperti RMS. (ada hubungan dengan tragedi Ambon ?).
Disinilah, dapat diketahui, bahwa ajaran Kristen melalui gereja (GMIH) tidak ubahnya sebagai mesin kepentingan dari orang-orang yang serakah dan haus kekuasaan. Apakah ini terkait dengan kepentingan mereka saat Otonomisasi dihembuskan? Di mana Halmahera Utara akan berubah status menjadi Kabupaten? Sungguh, gereja tidak lagi membawa pesan-pesan Ketuhanan dan kedamaian, tapi justeru membawa bencana kemanusiaan, karena para pendeta tak lebih dari seekor anjing yang rakus. Sungguh sangat disayangkan. Padahal jauh hari sebelum itu, mereka (para kelompok Nasrani) telah mengelabui ummat Islam Tobelo dengan pendekatan budaya Hibualamo yang banyak mengumbar janji kedamaian, kemanusiaan, hidup rukun dan tidak ada penyerangan. Tapi nyatanya, semua itu hanyalah sebuah kemunafikan yang dibungkus.
Ya Allah Rapatkanlah tali ikatan kaum muslimin di Maluku Utara, khususnya dan Indonesia umumnya. Berikanlah kekuatan dan kemudahan kepada kami untuk berjihad membela saudara-saudara kami yang tertindas oleh kaum Nasrani.Menangkanlah kami dalam menghadapi kaum kafirin dan mohon ampunlah atas dosa kami, maafkanlah kekhilafan kami serta berikanlah kami curahan Rahmat-Mu. Ya Allah, Jikalau kami harus mati, matikanlah kami sebagai syuhada yang membela agama-Mu. Jadikanlah kecil, musuh-musuh dalam pandangan kami, dan jadikanlah kami sebagai kekuatan yang besar, dimata para musuh kami. Ya Allah, berikanlah azab kepada orang-orang yang membuat makar sehingga kami bertumpah darah. Lepaskanlah diri kami dari tipu muslihat mereka. Tampakkanlah dihadapan kami, yang benaritu benar dan salah itu salah.